Kesehatan mental siswa dan implikasinya terhadap penyelenggaraan pendidikan

Kesehatan mental telah lama menjadi perhatian umat manusia jauh sebelum kaum akademisi berusaha meneliti dan menangani problem kesehatan mental. Kesehatan mental bukan masalah baru karena merupakan kebutuhan dasar manusia.
Kehidupan masyarakat modern yang cenderung mengutamakan individualism, materialism, hedonism, comersialism, dan competitive semakin memicu individu mengalami ketegangan dan stress. Pesatnya arus urbanisasi, pembangunan, dan industrialisasi juga menyebabkan masyarakat menjadi semakin kompleks, rawan frustasi dan konflik. Krisis kebudayaan dan krisis ideologi menyebabkan perilaku manusia banyak mengalami penyimpangan. Ketegangan batin akan mengakibatkan rasa permusuhan, agresivitas meningkat dan temperamental, rasa rendah diri, ketakutan, gangguan emosional, dan sakit mental.
Perubahan sosial dan masa transisi yang bergejolak karena krisis moral terjadi di berbagai tempat tidak terkecuali merambah di dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai contoh kasus—untuk tidak bermaksud menjeneralisir, munculnya fenomena kondisi mental siswa yang sakit dimanifestasikan dengan rasa permusuhan, dalam bentuk tingkah laku yang mengganggu orang tua, guru dan masyarakat luas. Siswa yang sangat agresif di sekolah sering menantang temannya untuk bergulat, merusak fasilitas sekolah, melakukan tawuran, pemerkosaan, dan tindakan negatif lainnya. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang masih dipercaya masyarakat, tentu tidak boleh tinggal diam untuk secara terprogram dan berkelanjutan memaksimalkan tugas pokok, fungsi dan perannya dalam mewujudkan peserta didik yang benar-benar sehat mental dan sekaligus melakukan tindakan preventif dan kuratif untuk mencegah timbulnya gangguan mental siswa.
Konsep dasar Kesehatan Mental dan Mental Sehat
Secara etimologis, Mental Hygiene berasal dari kata mental dan hygiene. Kata “mental” berasal dari kata latin “mens” atau “mentis” artinya jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dalam bahasa Yunani, kata hygiene berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu kesehatan mental). Mental hygiene sering disebut pula psiko-hygiene. (Yusak Burhanuddin, 1999: 9).
Menurut Kartini Kartono (2000: 3), mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa.
Definisi di atas menunjukkan bahwa kondisi mental yang sakit pada masyarakat dapat disembuhkan apabila mengetahui terlebih dahulu hal-hal yang mempengaruhi kesehatan mental tersebut melalui pendekatan hygiene mental.
Sedangkan Zakiah Daradjat (1984:4), merumuskan definisi berikut.
“kesehatan mental ialah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat”, Dengan rumusan lain, kesehatan mental ialah suatu ilmu yang berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, yang mencakup semua bidang hubungan manusia, baik hubungan dengan diri sendiri, maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan”.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan atau penyakit mental, terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antar fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya, adanya kemampuan yang dimiliki untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Ciri-ciri orang yang bermental sehat dan tidak sehat
Sehat dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu dengan kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap konsep ini kemungkinan bersamaan dengan pengenalannya terhadap kondisi dirinya. Keadaan sehat dan sakit tersebut terus terjadi, dan manusia akan memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit. Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat dirasakan dan diamati keadaannya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1959 memberikan batasan mental yang sehat adalah sebagai berikut :
  1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu buruk baginya.
  2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
  3. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.
  4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.
  5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan.
  6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian hari.
  7. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.
  8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.
Kriteria sehat mental juga dikemukakan tokoh agama berikut.
  1. Bertanggungjawab : berani menghadapi segala hal yang dilakukannya.
  2. Dewasa : memiliki sikap dan perilaku yang tidak manja dan kekanak-kanakan.
  3. Menghormati dan menghargai orang lain : berperilaku sopan santun sesuai  aturan, nilai, norma dan adat istiadat yang ada di suatu tempat.
  4. Optimis : berfikir positif dalam menghadapi kehidupan.
  5. Beriman dan bertakwa : Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melaksanakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya.
  6. Disiplin : taat dan patuh terhadap aturan yang ada serta menghargai waktu yang ada.
    Jenis-jenis mental tidak sehat
Gangguan mental dalam beberapa hal disebut perilaku abnormal (abnormal behavior), yang juga dianggap sama dengan sakit mental (mental illness), sakit jiwa (insanity, lunacy, madness). Dari pengertian ini, orang yang menunjukkan kurang sehat mentalnya maka dimasukkan sebagai orang yang mengalami gangguan mental.
Menurut S.Scott (dalam Notosoedirdjo, 2001:43) mengelompokkan enam macam kriteria untuk menentukan seseorang mengalami gangguan mental yaitu: 1) orang memperoleh pengobatan psikiatris, 2) salah penyesuaian sosial,  3) hasil diagnosis psikiatris, 4) ketidakbahagiaan subjektif,  5) adanya simptom psikologis secara objektif, dan 6) kegagalan adaptasi secara positif.  Sedangkan Kartini Kartono (2000:5), menyatakan bahwa sakit mental merupakan bentuk gangguan pada ketenangan batin dan ketentraman hati. Penyakit mental ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, hambar hati, apatis, cemburu, iri hati, dengki, kemarahan yang eksplosif, ketegangan batin yang kronis.
   Implikasi kesehatan mental bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah
Berangkat dari telaah tentang ciri-ciri dan karakteristik manusia sehat mental yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, menjadi penting kita mencari titik temu dan relevansi yang mampu mewujudkan satu misi dari dua bidang berbeda antara tujuan kesehatan mental pada satu sisi dan fungsi/tujuan pendidikan pada sisi yang lain. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, Pasal 3, menegaskan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dengan demikian implikasi kesehatan mental siswa terhadap penyelenggaraan pendidikan dapat ditegaskan: pertama, bahwa dalam penyelenggaran pendidikan (baca:formal) pada setiap satuan pendidikan di Indonesia seharusnya mendesain visi, misi dan tujuannya yang secara simultan mampu membentuk peserta didik yang bermental sehat sebagaimana tujuan pendidikan nasional tersebut. Kedua, seluruh warga sekolah seharusnya secara kompak melaksanakan, mengevaluasi dan melakukan tindaklanjut secara konsisten demi mencapai tujuan pendidikan nasional dan kriteria kesehatan mental tersebut. Ketiga, setiap satuan pendidikan seharusnya memberdayakan program-program pengembangan diri, bimbingan konseling, dan sejenisnya sebagai media yang sangat efektif untuk pembinaan potensi peserta didik sesuai minat-bakat dan pencegahan dini sekaligus tindakan terhadap penyimpangan, gagguan/sakit mental yang dialami peserta didik.


sumber  : http://arbarinis3ip.staff.fkip.uns.ac.id/2011/12/14/kesehatan-mental-siswa-dan-implikasinya-terhadap-penyelenggaraan-pendidikan/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etnografi Kebudayaan Semarang

“HAKIKAT PENDIDIKAN”

contoh PKM Gagasan Tertulis lolos Dikti tahun 2015, diketuai oleh Dian Fatmawati, Akuntansi Unnes