Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Tayangan Televisi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tubuh perempuan selalu menjadi bahan
pembicaraan di berbagai aktivitas dan tempat yang berbeda. Karena
laki-laki dalam hal ini seringkali merasa memiliki “hak istimewa” untuk
membuat berbagai penilaian atas tubuh perempuan, dan sudah dapat diduga
bahwa penilaian mereka tersebut umumnya hanya berkisar pada wujud dan
ukuran buah dada, bentuk pinggul, mulusnya paha, warna dan seksinya
bibir, gaya dan panjang rambut, dan lain sebagainya yang sangat bersifat
biologis. Pertanyaan yang muncul adalah “sebenarnya siapa yang paling
berhak untuk memberikan penilaian terhadap tubuh perempuan? apakah
benar-benar hanya laki-laki atau perempuan itu sendiri?”
Apapun jawabannya faktanya, sebagaimana dinyatakan oleh kalangan feminis, pengetahuan atas tubuh perempuan yang khas (spesifik) dan berbeda dengan laki-laki, masih sangat kurang. Selama ini ideologi patriarkal telah mengembangkan suatu stereotipe bahwa perempuan itu harus feminin dan heteroseksual, keibuan, dan penuh pengasuhan. Luce Irigaray (dalam Miranti H, 2003:9) mengatakan bahwa apakah itu perempuan atau laki-laki harus dikenali perbedaannya dan masing-masing berhak dinilai secara khusus. Pengingkaran atas sifat khas tubuh perempuan oleh masyarakat yang patriarkal disebabkan adanya diskriminasi sosial melalui ajaran phalocentris (phallus:alat kelamin laki-laki). Ajaran didasarkan adanya suatu pandangan kebudayaan yang menganggap bahwa norma laki-laki yang menjadi pusat (center) relasi-relasi sosial yang ada. semua ini bisa terjadi dan harus berjalan karena masyarakat tampaknya tenggelam dalam penilaian berdasarkan norma-norma atau nilai-nilai laki-laki tersebut.
Jika kita membuka catatan sejarah maka akan kelihatan jelas bahwa hampir semua pemikir-pemikir besar terjebak dalam pandangan yang bias gender. Filsuf besar seperti Plato yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang banyak memikirkan tentang tubuhnya sendiri, Selanjutnya Plato menambahkan kalau manusia itu hanya memikirkan tubuhnya sendiri maka sebetulnya ia telah bertindak atau bertingkah laku seperti layaknya perempuan. Bahkan lebih jauh lagi, Plato menuding perempuan sebagai kelas yang abnormal yang berorientasi pada tubuhnya sendiri, dan ini sebagai sesuatu yang negatif. Akibatnya, untuk menggambarkan “sesuatu” sebagai hal yang menyimpang sering dengan memakai perumpamaan “perempuan” di dalamnya (Miranti H, 2003:12).
Di dalam wacana media hiburan, khususnya pada tayangan televisi, tubuh perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi dengan berbagai cara di dalam sebuah ajang “permainan tanda”dan “semiotika Tubuh”. Tubuh menjadi semacam teks, yaitu sebuah kumpulan tanda (sign) yang dikombinasikan lewat kode-kode semiotika tertentu (sensualitas, erotisme, pornografi). Tubuh perempuan didekonstruksi menjadi elemen-elemen tanda (mata, bibir, hidung, pipi, rambut, payudara, bahu tangan, jari, perut, pinggul, betis, paha, dan kaki) yang masing-masing menjadi sub-sub signifier yang secara bersama-sama membentuk signifier perempuan. Setiap tanda dimuati berbagai makna semantik (meaning) sesuai dengan konteks dan kepentingan ekonominya (Yasraf, 2000:107).
Di dalam ajang permainan tanda ini menurut Yasraf (2000:109) tidak saja tampilan (postur) tubuh tetapi juga gerak, pose, mimik tubuh-semuanya menjadi signifier yang dapat dieksplorasi dan dieksploitasi potensi makna dan nilai-nilai libidonya. dan setiap nilai libido tersebut di dalam sistem ekonomi politik umum kapitalisme, dapat diubah menjadi currency, yang mempunyai nilai tukar sesuai dengan fungsinya di dalam komoditi. Akibatnya tubuh perempuan menjadi bagian dari sistem political economy of the sign.
Tubuh perempuan yang dieksplorasi dan dieksploitasi dalam tayangan televisi muncul dalam berbagai cara. Mulai dari tayangan sinetron, hiburan musik, lawak, dan iklan. Dalam tayangan sinetron, penggunaan tubuh perempuan sebagai ilustrasi tampak sangat menonjol. Di dalam sinetron, gadis model, artis penyanyi, artis sinetron itu sendiri atau artis film yang terkenal sering digunakan sebagai eye-catcher tontonan. Mulai dari Maudy Kusnaedi, Nia Ramadhani, Cornelia Aghata, Marshanda, Agnes Monika, dan lain-lain. Para perempuan tersebut di dalam senetronnya dieksploitasi berbagai kemungkinan tanda, kode, dan makna sosialnya berbagai potensi libidonya sebagai nilai tukar.
Pada tayangan hiburan musik, musik dangdut khususnya, eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh perempuan (dada, bahu, pinggul, kaki, perut, tangan, dan yang lainnya) dengan menonjolkan gerakan dan tanda-tanda semiotika tubuh (body signifier) yang mengarah pada dorongan hasrat (sensualitas, erotisme) memperlihatkan menonjolnya penggunaan perempuan sebagai object of desire, sebagai obscene sign, dan sexual sign. Dalam musik dangdut gerakan pinggul atau dada sering “dieksploitasi” sebagai simulasi dari gerakan-gerakan seksual. Pinggul menjadi semacam “objek fetish” utama di dalam musik dangdut. la merepresentasikan passive narcissistic desire pada perempuan yaitu hasrat untuk diperhatikan, dicintai, disanjung, dilihat oleh laki-laki, hasrat untuk menimbulkan dorongan seksual pada laki-laki (Yasraf, 2000:109). Sebagai contoh, fenomena Inul Daratista si Ratu Ngebor yang merebak di tahun 2003. Hal ini menjadi fenomena yang menarik karena tak lama kemudian gejala Inulisasi merambah kemana-mana, seperti menjadi “syarat wajib” bagi pelantun dangdut untuk bergoyang pinggul secara vulgar. Dampaknya, hingga sekarang berbuntut para pengekornya seperti berlomba menciptakan goyangan baru dengan trade marknya sendiri-sendiri. Tayangan stasiun televisi berlomba menayangkan acara dangdut lengkap dengan para penampil yang tidak kalah heboh goyangannya untuk mengeksploitasi tubuhnya.
Tubuh perempuan dalam tayangan lawak nampak dalam berbagai aktivitas laki-laki yang berkaitan dengan upaya-upaya menstimulasi perbuatan “cabul”. Aktivitas yang ada misalnya seolah-olah memegang payudara, seolah-olah merangkul, seolah-olah mencumbu, membaui tangan, dan sebagainya. Disini tanda metafora berkonotasi seksual digunakan. Misalnya dada perempuan seperti gunung, perut sebagai bantal. Selain itu ada aktivitas tertentu di dalam lawakan yang memberi indeks (indexed sign) ke arah tindakan seksualitas, misalnya mengangkat kain, membuka baju, dan sebagainya.
Eksploitasi tubuh perempuan dalam tayangan iklan, sekadar memberi rasa nikmat pada penontonnya. Analis media Amerika Serikat, Jean Kilboume (Nurul Arifin, 2002:57) menyatakan bahwa aneka studi ilmiah maupun tinjauan sederhana menghasilkan kesimpulan yang kurang lebih sama, bahwa perempuan dalam iklan ditampilkan sebagai objek seks atau sebagai ibu rumah tangga. Stereotipe pertama perempuan sebagai penarik perhatian laki-laki, dan stereotipe kedua adalah pendamping suami, pengatur urusan rumah tangga, dan penghuni dapur.
Dari paparan di atas jelas bahwa beberapa tayangan di televisi baik pada acara sinetron, lawak, iklan, musik, maupun film menggunakan tubuh perempuan untuk menarik penonton. Tubuh perempuan tersebut dieksploitasi di bawah kekuasaan laki-laki. Pro dan kontra seputar permasalahan akan diberlakukannya Rencana Undang-undang tentang Pornografi dan Pornoaksi RUU-PPA menjadikan titik tawar tentang pengeksploitasian tubuh itu sendiri. Jika demikian keadaannya, bagaimana persepsi perempuan itu sendiri terhadap eksploitasi terhadap tubuh perempuan dalam tayangan televisi? Karena sebenarnya perempuan itu sendiri yang berhak menikmati dan memberikan penilaian terhadap tubuhnya sendiri. Lalu, bagaimana laki-laki memberi persepsi terhadap eksploitasi tubuh perempuan dalam tayangan televisi?
1. Tubuh Perempuan: Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya
Sebelum berakhirnya abad 19, para ahli antropologi biasa membuat penilaian terhadap anatomi tubuh suatu bangsa dengan perbandingan tubuh pria kulit putih Eropa, yang pada zaman itu dianggap sebagai ras paling unggul. Di satu sisi, kaum pria kulit putih Eropa dinilai unggul dilihat dan bentuk tulang tengkoraknya. Sementara itu di sisi yang lain, bentuk tulang tengkorak perempuan dan manusia dan bangsa lain dinilai sebagai tulang tengkorak anak kecil (Miranti H, 2003:15). Mereka dianggap impulsif, emosional, dan bahkan tidak murni. dengan kata lain ingin dikatakan bahwa pada umumnya perempuan dan bangsa manapun dianggap sebagai makhluk kelas nomor dua di rasnya.
Tepatnya sebelum abad 17, situasinya lebih parah lagi. Organ seks perempuan bahkan tidak mempunyai nama sama sekali, termasuk clitoris, yang pada zaman itu belum dikenal. Sementara itu pada abad 18, penilaian atas tubuh manusia mengacu pada one sex model. Artinya bentuk organ sex dan reproduksi perempuan dianggap sebagai bentuk inferior atau bentuk yang tidak sempurna dari organ seks pria. sebut saja misalnya rahim pada zaman itu dianggap sebagai skrotum, vagina dipandang sebagai penis, atau overium dilihat sebagai testis dan sebagainya. Baru pada akhir abad 18, penilaian atas tubuh manusia merujuk pada two sex model. Organ seks laki-laki dan perempuan mulai disadari sebagai “sesuatu” yang berbeda antara satu sama lain (Miranti H, 2003:9).
Tubuh perempuan dalam kesenian abad 18, terjadi bentuk subordinasi tubuh perempuan yang tertanam kuat di bawah bayang-bayang ideologi patriarkal. Sebagai misal tubuh perempuan dalam berbagai lukisan, umumnya perempuan digambarkan sebagai sosok ibu yang berbakti pada keluarga, anak perawan atau penggoda laki-laki.
Pada zaman Renaissance, para pelukis biasanya lebih suka menggambar tubuh laki-laki telanjang karena ada anggapan yang kuat bahwa tubuh perempuan pada zaman itu dianggap inferior. Baru memasuki abad 17, lukisan tubuh perempuan lebih digemari. Pada zaman itu, tubuh perempuan digambarkan sebagai dewi Venus yang melambangkan kecantikan, dan merupakan objek cinta yang ideal meskipun masih dari sudut pandang laki-laki. Venus digambarkan dalam dua versi yaitu venus coelestis, perempuan digambarkan dalam romantisme, sedangkan dalam venus naturalis perempuan digambarkan dalam objek seksual laki-laki (Margaret Sanger, 2002:5). Kedua gambaran tersebut jelas menunjukkan adanya subordinasi terhadap perempuan.
Tubuh perempuan dalam industri kecantikan dan pakaian, perempuan dianggap sebagai objek kecantikan dan simbol kecantikan. Bagaimana perempuan menilai tubuhnya biasanya akan sangat berkaitan dengan bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh perempuan. Artinya, kalangan perempuan akan selalu berusaha untuk menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan apa kata sosial dan budaya masyarakat tentang konsep kecantikan itu sendiri. Industri fashion, kosmetik, dan media massa baik cetak maupun elektronik (seperti majalah dan televisi) sangat berpengaruh dalam membentuk citra tubuh perempuan.
Kritik para feminis yang tergabung dalam Women‘s Liberation berpendapat bahwa industri pakaian dan kosmetik telah membuat perempuan menjadi hanya objek seks semata dan kepentingan laki-laki. Alasannya sangat jelas, berbagai industri tersebut sudah semakin jauh dalam menjadikan objek tubuh perempuan sebagai objek. Mulai dan kaki, payudara, mata, bibir, dan lain-lain, semuanya masuk dalam objektivitas tubuh perempuan. Kalangan pengusaha menyediakan berbagai produk yang mereka katakan dapat mempercantik perempuan sesuai dengan image yang telah mereka ciptakan.
Tubuh perempuan dalam teknologi, ternyata tidak hanya teknologi kedokteran saja yang telah membuat posisi perempuan semakin terjepit tetapi juga teknologi untuk pabrik-pabrik atau industri membuat posisi perempuan tersubordinasi. Les Levidow dalam penelitiannya tentang sumbangan buruh Malaysia dalam industri mikro elektronik menemukan bahwa agen industri lebih suka menerima perempuan untuk dipekerjakan sebagai buruh pabrik. Alasannya perempuan lebih memiliki sifat lebih trampil, sangat teliti, dan memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Pesoa1annya kemudian, walaupun buruh-buruh perempuan tersebut memperoleh bayaran tetapi di lingkungan kerjanya mereka sangat rentan terhadap perlakuan diskriminasi dan pelecehan seksual (Miranti H, 2003: 13).
Seksualitas pada perempuan, menurut Carole Pateman (dalam Nurul Arifin, 2000:5) terjadi adanya subordinasi perempuan di dalam masyarakat yang berasal dan hak istimewa yang dimiliki laki-laki, yaitu hak yang tertanam kuat dalam sistem patriarki dalam mengintervensi tubuh perempuan. Sistem yang ada di dalam masyarakat itu dibuat berdasarkan seks/jenis kelamin, sehingga cara berpikir dan pengetahuan yang dimiliki terbentuk mengikuti pengalaman sebagai makhluk dengan jenis kelamin tertentu. Pemikiran tersebut akan berpengaruh pada penilaian terhadap seksualitas perempuan yaitu harus mengikuti dan memenuhi keinginan laki-laki, baik dalam perkawinan, reproduksi, prostitusi, maupun lainnya yang sejenis. Dan sudut pandang yang disoroti mulai dan aspek teknologi, ekonomi, aspek sosial, politik maupun budaya digunakan untuk menilai dan menguasai tubuh perempuan. Untuk itu, perlu adanya semangat dan kesetaraan dan keadilan bagi semua pihak baik laki-laki maupun perempuan.
2. Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Tayangan Televisi
Sebenamya siapa yang menguasai tubuh perempuan? Gayle Rubin (1998:147) salah satu feminis libertarian-radikal menganggap bahwa sistem gender menjadi sebuah kesatuan yang mengatur perubahan transformasi sosial dan seksualitas biologis menjadi produk aktivitas manusia. Perbincangan mengenai eksistensi tubuh, tanda dan hasrat perempuan tidak dapat dilepaskan dan pengaruh gerakan pembebasan tubuh , tanda, dan hasrat.
Menurut Foucault (dalam Yasraf, 2000:114) bahwa berbagai potensi hasrat yang ada pada diri manusia termasuk perempuan mempunyai peluang sebagai bentuk baru kekuasaan di dalam masyarakat. Menurutnya, posisi tubuh di dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dan pembicaraan mengenai hubungan antara hasrat, tubuh dan kekuasaan. Terdapat dua kekuasaan yang berkaitan dengan tubuh, pertama kekuasaan atas tubuh, yaitu kekuasaan eksternal yang mengatur tindak tanduk tubuh secara represif. Kedua, kekuasaan yang memancar dan dalam tubuh itu sendiri. yaitu berupa hasrat-hasrat. Revolusi tubuh adalah sebuah kondisi, di mana dan dalam tubuh ini menentang kekuasaan atas tubuh. Dengan terbebasnya tubuh dan kekuasaan atas tubuh maka apa yang dijanjikannya adalah berkembang biak dan berlipat gandanya secara bebas discource seksual dan penggunaan tubuh tanpa perlu diikat oleh konvensi moral yang baku.
Di dalam sistem ekonomi libido, eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh ke dalam berbagai bentuk komoditi bukanlah dianggap sebagai suatu ketidakadilan terhadap perempuan. Moralitas ekonomi libido adalah bahwa arus libido itu baik, bahwa penyebaran pengaruhnya menyenangkan. Sebuah betis yang terbuka, sebuah payudara yang tersingkap, dianggap bukan sebuah bentuk marginalisasi atau subordinasi. Ia adalah sebuah sistem negosiasi. Tawaran seperti ini adalah pintu pembuka bagi menggeliatnya tali libido di dalam wacana kapitalisme, sebuah pintu pembuka yang selama ini ditolak oleh para politisi dan birokrasi (Yasraf, 2000:116).
Tubuh posmodern, dalam pandangan Lyotard (1997:25) adalah sebatang tubuh yang sepenuhnya afirmatif, bagian-bagian tubuh yang menghasilkan kekuatan libido, yang dengan bangga dikonsumsi joussance. Setiap orang dapat mewujudkan fantasinya lewat tubuh yang kemudian dapat menjadi alat tukar libido. pengumbaran fantasi-fantasi libido tersebut akan berguna selama ia dapat ditukarkan dengan uang.
Di dalam kapitalisme, tubuh perempuan dipertukarkan sebagai nilai tukar lewat bahasa tanda tubuh. Penelitian yang dilakukan Lyotard (1997) menemukan bahwa Citra tubuh yang menyertai penawaran sebuah komoditi merupakan satu komponen dan sistem komunikasi kapitalisme. Tubuh perempuan, lewat posisinya sebagai metakomoditi sangat bergantung pada manipulasi libidonya yang merupakan strategi baku di dalam penciptaan semua objek dan pertukarannya. Dalam ekonomi libido, kemampuan meningkatkan daya emosi dan sebatang tubuh perempuan sebagai alat tukar, secara Iangsung akan menentukan harga libidonya.
Di dalam wacana media hiburan, khususnya pada tayangan televisi tubuh perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi dengan berbagai cara dalam sebuah ajang permainan tanda dan semiotisasi tubuh. Dalam penayangan iklan misalnya, tubuh perempuan dieksploitasi untuk produk tertentu. Iklan mobil secara kategorial dianggap sebagai barang laki-laki, menampilkan perempuan bergaun malam dengan belahan yang tinggi sehingga kelihatan betisnya. Banyak kreator iklan yang menambahkan nilai lain yakni konotasi tertentu agar bisa diasosiasikan macam-macam, dan kalau perlu dibuat menjurus agar mudah dihafalkan dan tertanam dibenak konsumen. Sebagai contoh ikian permen dengan kalimat kunci “dingin-dingin empuk“. Visualisasinya seorang perempuan kehujanan, kemudian makan permen dan dipeluk laki-laki di mana laki-laki tersebut merasakan hangatnya payudara perempuan sambil mengucapkan kalimat kunci tersebut. Ada unsur pelecehan perempuan dalam contoh kedua iklan tersebut, bukankah permen adalah konsumsi bagi semua jenis kelamin dalam semua tingkat usia? Kenapa harus ada citra jantan dan kenapa pula harus ada konotasi “menjurus” bahkan terjadi eksploitasi seksual pada perempuan?
Pada tayangan hiburan musik, khususnya musik dangdut-eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh perempuan sengaja ditonjolkan dengan gerakan dan tanda-tanda semiotika tubuh yang mengarah pada dorongan sensualitas, erotika, dengan memperlihatkan menonjolnya penggunaan perempuan sebagai objek dan hasrat. Dalam musik dangdut pada khususnya, gerakan-gerakan pinggul atau dada sering dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai simulasi dan gerakan-gerakan seksual. Bila kita sadari, hampir setiap malam dan hampir seluruh stasiun televisi menayangkan musik (khususnya musik dangdut) dengan gaya penampilan menggunakan tubuh perempuan untuk dieksploitasi secara vulgar, sehingga pinggul dan dada menjadi semacam objek fetish utama.
Dalam tayangan hiburan lawak, artis bintang tamu di dalam acara lawakan cenderung dijadikan objek seksual laki-laki di dalam lawakan atau objek voyeurisme dieksploitasi potensi hasrat dan libidonya, serta dimuati dengan berbagai mistifikasi tanda dan makna sebagai objek pemujaan laki-laki. dalam hal ini acara lawak lebih banyak mengkonstruksi laki-laki sebagai yang aktif dalam wacana seksual sementara perempuan sebagai yang pasif. Dalam tayangan sinetronpun, eksploitasi tubuh perempuan nampak menonjol dan beberapa cerita yang dibuat. Jika dilihat pada sinetron komedi misalnya, eksploitasi tubuh perempuan ditayangkan dengan cara para perempuan berpakaian mini untuk diperlihatkan paha mulusnya yang kadang-kadang antara isi cerita dengan pakaian yang dikenakan perempuan tidak sesuai. Akibatnya, dalam sinetron penggunaan tubuh perempuan sebagai ilustrasi tampak sangat menonjol, sehingga para artis tersebut sering digunakan sebagai eye-catcher tontonan.
Eksploitasi tubuh perempuan dalam berbagai hiburan di televisi, secara umum menunjukkan beroperasinya ideologi patriarki di dalamnya, yang menempatkan perempuan pada posisi subordinasi, posisi pelengkap, posisi objek hasrat dan dunia laki-laki yang dominan. media hiburan lawak dan musik di televisi, menjadi sebuah kendaraan dalam menciptakan common sense di dalam masyarakat yang melanggengkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Meskipun demikian, akhir-akhir ini terdapat berbagai perubahan tampilan media yang menandakan terjadinya pergeseran posisi perempuan di dalam relasi gender di dalamnya. Pergeseran ini terjadi sebagai akibat didekonstruksinya batas-batas oposisi biner, yang sebelumnya memisahkan dunia perempuan dan laki-laki pasif/aktif, lemah/kuat, tak berdaya/kuasa, dan sebagainya. Meski berbagai perubahan merupakan sebuah harapan yang dijanjikan oleh media televisi terhadap perempuan, sesungguhnya mengandung perangkap di dalamnya, yang hanya membawa pada berbagai perubahan yang semu, bukan perubahan yang hakiki.
Untuk para Perempuan Cantik di Negeriku Indonesia…
sumber : http://arbarinis3ip.staff.fkip.uns.ac.id/2011/12/16/eksploitasi-tubuh-perempuan-dalam-tayangan-televisi/
Apapun jawabannya faktanya, sebagaimana dinyatakan oleh kalangan feminis, pengetahuan atas tubuh perempuan yang khas (spesifik) dan berbeda dengan laki-laki, masih sangat kurang. Selama ini ideologi patriarkal telah mengembangkan suatu stereotipe bahwa perempuan itu harus feminin dan heteroseksual, keibuan, dan penuh pengasuhan. Luce Irigaray (dalam Miranti H, 2003:9) mengatakan bahwa apakah itu perempuan atau laki-laki harus dikenali perbedaannya dan masing-masing berhak dinilai secara khusus. Pengingkaran atas sifat khas tubuh perempuan oleh masyarakat yang patriarkal disebabkan adanya diskriminasi sosial melalui ajaran phalocentris (phallus:alat kelamin laki-laki). Ajaran didasarkan adanya suatu pandangan kebudayaan yang menganggap bahwa norma laki-laki yang menjadi pusat (center) relasi-relasi sosial yang ada. semua ini bisa terjadi dan harus berjalan karena masyarakat tampaknya tenggelam dalam penilaian berdasarkan norma-norma atau nilai-nilai laki-laki tersebut.
Jika kita membuka catatan sejarah maka akan kelihatan jelas bahwa hampir semua pemikir-pemikir besar terjebak dalam pandangan yang bias gender. Filsuf besar seperti Plato yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang banyak memikirkan tentang tubuhnya sendiri, Selanjutnya Plato menambahkan kalau manusia itu hanya memikirkan tubuhnya sendiri maka sebetulnya ia telah bertindak atau bertingkah laku seperti layaknya perempuan. Bahkan lebih jauh lagi, Plato menuding perempuan sebagai kelas yang abnormal yang berorientasi pada tubuhnya sendiri, dan ini sebagai sesuatu yang negatif. Akibatnya, untuk menggambarkan “sesuatu” sebagai hal yang menyimpang sering dengan memakai perumpamaan “perempuan” di dalamnya (Miranti H, 2003:12).
Di dalam wacana media hiburan, khususnya pada tayangan televisi, tubuh perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi dengan berbagai cara di dalam sebuah ajang “permainan tanda”dan “semiotika Tubuh”. Tubuh menjadi semacam teks, yaitu sebuah kumpulan tanda (sign) yang dikombinasikan lewat kode-kode semiotika tertentu (sensualitas, erotisme, pornografi). Tubuh perempuan didekonstruksi menjadi elemen-elemen tanda (mata, bibir, hidung, pipi, rambut, payudara, bahu tangan, jari, perut, pinggul, betis, paha, dan kaki) yang masing-masing menjadi sub-sub signifier yang secara bersama-sama membentuk signifier perempuan. Setiap tanda dimuati berbagai makna semantik (meaning) sesuai dengan konteks dan kepentingan ekonominya (Yasraf, 2000:107).
Di dalam ajang permainan tanda ini menurut Yasraf (2000:109) tidak saja tampilan (postur) tubuh tetapi juga gerak, pose, mimik tubuh-semuanya menjadi signifier yang dapat dieksplorasi dan dieksploitasi potensi makna dan nilai-nilai libidonya. dan setiap nilai libido tersebut di dalam sistem ekonomi politik umum kapitalisme, dapat diubah menjadi currency, yang mempunyai nilai tukar sesuai dengan fungsinya di dalam komoditi. Akibatnya tubuh perempuan menjadi bagian dari sistem political economy of the sign.
Tubuh perempuan yang dieksplorasi dan dieksploitasi dalam tayangan televisi muncul dalam berbagai cara. Mulai dari tayangan sinetron, hiburan musik, lawak, dan iklan. Dalam tayangan sinetron, penggunaan tubuh perempuan sebagai ilustrasi tampak sangat menonjol. Di dalam sinetron, gadis model, artis penyanyi, artis sinetron itu sendiri atau artis film yang terkenal sering digunakan sebagai eye-catcher tontonan. Mulai dari Maudy Kusnaedi, Nia Ramadhani, Cornelia Aghata, Marshanda, Agnes Monika, dan lain-lain. Para perempuan tersebut di dalam senetronnya dieksploitasi berbagai kemungkinan tanda, kode, dan makna sosialnya berbagai potensi libidonya sebagai nilai tukar.
Pada tayangan hiburan musik, musik dangdut khususnya, eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh perempuan (dada, bahu, pinggul, kaki, perut, tangan, dan yang lainnya) dengan menonjolkan gerakan dan tanda-tanda semiotika tubuh (body signifier) yang mengarah pada dorongan hasrat (sensualitas, erotisme) memperlihatkan menonjolnya penggunaan perempuan sebagai object of desire, sebagai obscene sign, dan sexual sign. Dalam musik dangdut gerakan pinggul atau dada sering “dieksploitasi” sebagai simulasi dari gerakan-gerakan seksual. Pinggul menjadi semacam “objek fetish” utama di dalam musik dangdut. la merepresentasikan passive narcissistic desire pada perempuan yaitu hasrat untuk diperhatikan, dicintai, disanjung, dilihat oleh laki-laki, hasrat untuk menimbulkan dorongan seksual pada laki-laki (Yasraf, 2000:109). Sebagai contoh, fenomena Inul Daratista si Ratu Ngebor yang merebak di tahun 2003. Hal ini menjadi fenomena yang menarik karena tak lama kemudian gejala Inulisasi merambah kemana-mana, seperti menjadi “syarat wajib” bagi pelantun dangdut untuk bergoyang pinggul secara vulgar. Dampaknya, hingga sekarang berbuntut para pengekornya seperti berlomba menciptakan goyangan baru dengan trade marknya sendiri-sendiri. Tayangan stasiun televisi berlomba menayangkan acara dangdut lengkap dengan para penampil yang tidak kalah heboh goyangannya untuk mengeksploitasi tubuhnya.
Tubuh perempuan dalam tayangan lawak nampak dalam berbagai aktivitas laki-laki yang berkaitan dengan upaya-upaya menstimulasi perbuatan “cabul”. Aktivitas yang ada misalnya seolah-olah memegang payudara, seolah-olah merangkul, seolah-olah mencumbu, membaui tangan, dan sebagainya. Disini tanda metafora berkonotasi seksual digunakan. Misalnya dada perempuan seperti gunung, perut sebagai bantal. Selain itu ada aktivitas tertentu di dalam lawakan yang memberi indeks (indexed sign) ke arah tindakan seksualitas, misalnya mengangkat kain, membuka baju, dan sebagainya.
Eksploitasi tubuh perempuan dalam tayangan iklan, sekadar memberi rasa nikmat pada penontonnya. Analis media Amerika Serikat, Jean Kilboume (Nurul Arifin, 2002:57) menyatakan bahwa aneka studi ilmiah maupun tinjauan sederhana menghasilkan kesimpulan yang kurang lebih sama, bahwa perempuan dalam iklan ditampilkan sebagai objek seks atau sebagai ibu rumah tangga. Stereotipe pertama perempuan sebagai penarik perhatian laki-laki, dan stereotipe kedua adalah pendamping suami, pengatur urusan rumah tangga, dan penghuni dapur.
Dari paparan di atas jelas bahwa beberapa tayangan di televisi baik pada acara sinetron, lawak, iklan, musik, maupun film menggunakan tubuh perempuan untuk menarik penonton. Tubuh perempuan tersebut dieksploitasi di bawah kekuasaan laki-laki. Pro dan kontra seputar permasalahan akan diberlakukannya Rencana Undang-undang tentang Pornografi dan Pornoaksi RUU-PPA menjadikan titik tawar tentang pengeksploitasian tubuh itu sendiri. Jika demikian keadaannya, bagaimana persepsi perempuan itu sendiri terhadap eksploitasi terhadap tubuh perempuan dalam tayangan televisi? Karena sebenarnya perempuan itu sendiri yang berhak menikmati dan memberikan penilaian terhadap tubuhnya sendiri. Lalu, bagaimana laki-laki memberi persepsi terhadap eksploitasi tubuh perempuan dalam tayangan televisi?
1. Tubuh Perempuan: Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya
Sebelum berakhirnya abad 19, para ahli antropologi biasa membuat penilaian terhadap anatomi tubuh suatu bangsa dengan perbandingan tubuh pria kulit putih Eropa, yang pada zaman itu dianggap sebagai ras paling unggul. Di satu sisi, kaum pria kulit putih Eropa dinilai unggul dilihat dan bentuk tulang tengkoraknya. Sementara itu di sisi yang lain, bentuk tulang tengkorak perempuan dan manusia dan bangsa lain dinilai sebagai tulang tengkorak anak kecil (Miranti H, 2003:15). Mereka dianggap impulsif, emosional, dan bahkan tidak murni. dengan kata lain ingin dikatakan bahwa pada umumnya perempuan dan bangsa manapun dianggap sebagai makhluk kelas nomor dua di rasnya.
Tepatnya sebelum abad 17, situasinya lebih parah lagi. Organ seks perempuan bahkan tidak mempunyai nama sama sekali, termasuk clitoris, yang pada zaman itu belum dikenal. Sementara itu pada abad 18, penilaian atas tubuh manusia mengacu pada one sex model. Artinya bentuk organ sex dan reproduksi perempuan dianggap sebagai bentuk inferior atau bentuk yang tidak sempurna dari organ seks pria. sebut saja misalnya rahim pada zaman itu dianggap sebagai skrotum, vagina dipandang sebagai penis, atau overium dilihat sebagai testis dan sebagainya. Baru pada akhir abad 18, penilaian atas tubuh manusia merujuk pada two sex model. Organ seks laki-laki dan perempuan mulai disadari sebagai “sesuatu” yang berbeda antara satu sama lain (Miranti H, 2003:9).
Tubuh perempuan dalam kesenian abad 18, terjadi bentuk subordinasi tubuh perempuan yang tertanam kuat di bawah bayang-bayang ideologi patriarkal. Sebagai misal tubuh perempuan dalam berbagai lukisan, umumnya perempuan digambarkan sebagai sosok ibu yang berbakti pada keluarga, anak perawan atau penggoda laki-laki.
Pada zaman Renaissance, para pelukis biasanya lebih suka menggambar tubuh laki-laki telanjang karena ada anggapan yang kuat bahwa tubuh perempuan pada zaman itu dianggap inferior. Baru memasuki abad 17, lukisan tubuh perempuan lebih digemari. Pada zaman itu, tubuh perempuan digambarkan sebagai dewi Venus yang melambangkan kecantikan, dan merupakan objek cinta yang ideal meskipun masih dari sudut pandang laki-laki. Venus digambarkan dalam dua versi yaitu venus coelestis, perempuan digambarkan dalam romantisme, sedangkan dalam venus naturalis perempuan digambarkan dalam objek seksual laki-laki (Margaret Sanger, 2002:5). Kedua gambaran tersebut jelas menunjukkan adanya subordinasi terhadap perempuan.
Tubuh perempuan dalam industri kecantikan dan pakaian, perempuan dianggap sebagai objek kecantikan dan simbol kecantikan. Bagaimana perempuan menilai tubuhnya biasanya akan sangat berkaitan dengan bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh perempuan. Artinya, kalangan perempuan akan selalu berusaha untuk menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan apa kata sosial dan budaya masyarakat tentang konsep kecantikan itu sendiri. Industri fashion, kosmetik, dan media massa baik cetak maupun elektronik (seperti majalah dan televisi) sangat berpengaruh dalam membentuk citra tubuh perempuan.
Kritik para feminis yang tergabung dalam Women‘s Liberation berpendapat bahwa industri pakaian dan kosmetik telah membuat perempuan menjadi hanya objek seks semata dan kepentingan laki-laki. Alasannya sangat jelas, berbagai industri tersebut sudah semakin jauh dalam menjadikan objek tubuh perempuan sebagai objek. Mulai dan kaki, payudara, mata, bibir, dan lain-lain, semuanya masuk dalam objektivitas tubuh perempuan. Kalangan pengusaha menyediakan berbagai produk yang mereka katakan dapat mempercantik perempuan sesuai dengan image yang telah mereka ciptakan.
Tubuh perempuan dalam teknologi, ternyata tidak hanya teknologi kedokteran saja yang telah membuat posisi perempuan semakin terjepit tetapi juga teknologi untuk pabrik-pabrik atau industri membuat posisi perempuan tersubordinasi. Les Levidow dalam penelitiannya tentang sumbangan buruh Malaysia dalam industri mikro elektronik menemukan bahwa agen industri lebih suka menerima perempuan untuk dipekerjakan sebagai buruh pabrik. Alasannya perempuan lebih memiliki sifat lebih trampil, sangat teliti, dan memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Pesoa1annya kemudian, walaupun buruh-buruh perempuan tersebut memperoleh bayaran tetapi di lingkungan kerjanya mereka sangat rentan terhadap perlakuan diskriminasi dan pelecehan seksual (Miranti H, 2003: 13).
Seksualitas pada perempuan, menurut Carole Pateman (dalam Nurul Arifin, 2000:5) terjadi adanya subordinasi perempuan di dalam masyarakat yang berasal dan hak istimewa yang dimiliki laki-laki, yaitu hak yang tertanam kuat dalam sistem patriarki dalam mengintervensi tubuh perempuan. Sistem yang ada di dalam masyarakat itu dibuat berdasarkan seks/jenis kelamin, sehingga cara berpikir dan pengetahuan yang dimiliki terbentuk mengikuti pengalaman sebagai makhluk dengan jenis kelamin tertentu. Pemikiran tersebut akan berpengaruh pada penilaian terhadap seksualitas perempuan yaitu harus mengikuti dan memenuhi keinginan laki-laki, baik dalam perkawinan, reproduksi, prostitusi, maupun lainnya yang sejenis. Dan sudut pandang yang disoroti mulai dan aspek teknologi, ekonomi, aspek sosial, politik maupun budaya digunakan untuk menilai dan menguasai tubuh perempuan. Untuk itu, perlu adanya semangat dan kesetaraan dan keadilan bagi semua pihak baik laki-laki maupun perempuan.
2. Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Tayangan Televisi
Sebenamya siapa yang menguasai tubuh perempuan? Gayle Rubin (1998:147) salah satu feminis libertarian-radikal menganggap bahwa sistem gender menjadi sebuah kesatuan yang mengatur perubahan transformasi sosial dan seksualitas biologis menjadi produk aktivitas manusia. Perbincangan mengenai eksistensi tubuh, tanda dan hasrat perempuan tidak dapat dilepaskan dan pengaruh gerakan pembebasan tubuh , tanda, dan hasrat.
Menurut Foucault (dalam Yasraf, 2000:114) bahwa berbagai potensi hasrat yang ada pada diri manusia termasuk perempuan mempunyai peluang sebagai bentuk baru kekuasaan di dalam masyarakat. Menurutnya, posisi tubuh di dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dan pembicaraan mengenai hubungan antara hasrat, tubuh dan kekuasaan. Terdapat dua kekuasaan yang berkaitan dengan tubuh, pertama kekuasaan atas tubuh, yaitu kekuasaan eksternal yang mengatur tindak tanduk tubuh secara represif. Kedua, kekuasaan yang memancar dan dalam tubuh itu sendiri. yaitu berupa hasrat-hasrat. Revolusi tubuh adalah sebuah kondisi, di mana dan dalam tubuh ini menentang kekuasaan atas tubuh. Dengan terbebasnya tubuh dan kekuasaan atas tubuh maka apa yang dijanjikannya adalah berkembang biak dan berlipat gandanya secara bebas discource seksual dan penggunaan tubuh tanpa perlu diikat oleh konvensi moral yang baku.
Di dalam sistem ekonomi libido, eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh ke dalam berbagai bentuk komoditi bukanlah dianggap sebagai suatu ketidakadilan terhadap perempuan. Moralitas ekonomi libido adalah bahwa arus libido itu baik, bahwa penyebaran pengaruhnya menyenangkan. Sebuah betis yang terbuka, sebuah payudara yang tersingkap, dianggap bukan sebuah bentuk marginalisasi atau subordinasi. Ia adalah sebuah sistem negosiasi. Tawaran seperti ini adalah pintu pembuka bagi menggeliatnya tali libido di dalam wacana kapitalisme, sebuah pintu pembuka yang selama ini ditolak oleh para politisi dan birokrasi (Yasraf, 2000:116).
Tubuh posmodern, dalam pandangan Lyotard (1997:25) adalah sebatang tubuh yang sepenuhnya afirmatif, bagian-bagian tubuh yang menghasilkan kekuatan libido, yang dengan bangga dikonsumsi joussance. Setiap orang dapat mewujudkan fantasinya lewat tubuh yang kemudian dapat menjadi alat tukar libido. pengumbaran fantasi-fantasi libido tersebut akan berguna selama ia dapat ditukarkan dengan uang.
Di dalam kapitalisme, tubuh perempuan dipertukarkan sebagai nilai tukar lewat bahasa tanda tubuh. Penelitian yang dilakukan Lyotard (1997) menemukan bahwa Citra tubuh yang menyertai penawaran sebuah komoditi merupakan satu komponen dan sistem komunikasi kapitalisme. Tubuh perempuan, lewat posisinya sebagai metakomoditi sangat bergantung pada manipulasi libidonya yang merupakan strategi baku di dalam penciptaan semua objek dan pertukarannya. Dalam ekonomi libido, kemampuan meningkatkan daya emosi dan sebatang tubuh perempuan sebagai alat tukar, secara Iangsung akan menentukan harga libidonya.
Di dalam wacana media hiburan, khususnya pada tayangan televisi tubuh perempuan dieksplorasi dan dieksploitasi dengan berbagai cara dalam sebuah ajang permainan tanda dan semiotisasi tubuh. Dalam penayangan iklan misalnya, tubuh perempuan dieksploitasi untuk produk tertentu. Iklan mobil secara kategorial dianggap sebagai barang laki-laki, menampilkan perempuan bergaun malam dengan belahan yang tinggi sehingga kelihatan betisnya. Banyak kreator iklan yang menambahkan nilai lain yakni konotasi tertentu agar bisa diasosiasikan macam-macam, dan kalau perlu dibuat menjurus agar mudah dihafalkan dan tertanam dibenak konsumen. Sebagai contoh ikian permen dengan kalimat kunci “dingin-dingin empuk“. Visualisasinya seorang perempuan kehujanan, kemudian makan permen dan dipeluk laki-laki di mana laki-laki tersebut merasakan hangatnya payudara perempuan sambil mengucapkan kalimat kunci tersebut. Ada unsur pelecehan perempuan dalam contoh kedua iklan tersebut, bukankah permen adalah konsumsi bagi semua jenis kelamin dalam semua tingkat usia? Kenapa harus ada citra jantan dan kenapa pula harus ada konotasi “menjurus” bahkan terjadi eksploitasi seksual pada perempuan?
Pada tayangan hiburan musik, khususnya musik dangdut-eksploitasi tubuh dan organ-organ tubuh perempuan sengaja ditonjolkan dengan gerakan dan tanda-tanda semiotika tubuh yang mengarah pada dorongan sensualitas, erotika, dengan memperlihatkan menonjolnya penggunaan perempuan sebagai objek dan hasrat. Dalam musik dangdut pada khususnya, gerakan-gerakan pinggul atau dada sering dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai simulasi dan gerakan-gerakan seksual. Bila kita sadari, hampir setiap malam dan hampir seluruh stasiun televisi menayangkan musik (khususnya musik dangdut) dengan gaya penampilan menggunakan tubuh perempuan untuk dieksploitasi secara vulgar, sehingga pinggul dan dada menjadi semacam objek fetish utama.
Dalam tayangan hiburan lawak, artis bintang tamu di dalam acara lawakan cenderung dijadikan objek seksual laki-laki di dalam lawakan atau objek voyeurisme dieksploitasi potensi hasrat dan libidonya, serta dimuati dengan berbagai mistifikasi tanda dan makna sebagai objek pemujaan laki-laki. dalam hal ini acara lawak lebih banyak mengkonstruksi laki-laki sebagai yang aktif dalam wacana seksual sementara perempuan sebagai yang pasif. Dalam tayangan sinetronpun, eksploitasi tubuh perempuan nampak menonjol dan beberapa cerita yang dibuat. Jika dilihat pada sinetron komedi misalnya, eksploitasi tubuh perempuan ditayangkan dengan cara para perempuan berpakaian mini untuk diperlihatkan paha mulusnya yang kadang-kadang antara isi cerita dengan pakaian yang dikenakan perempuan tidak sesuai. Akibatnya, dalam sinetron penggunaan tubuh perempuan sebagai ilustrasi tampak sangat menonjol, sehingga para artis tersebut sering digunakan sebagai eye-catcher tontonan.
Eksploitasi tubuh perempuan dalam berbagai hiburan di televisi, secara umum menunjukkan beroperasinya ideologi patriarki di dalamnya, yang menempatkan perempuan pada posisi subordinasi, posisi pelengkap, posisi objek hasrat dan dunia laki-laki yang dominan. media hiburan lawak dan musik di televisi, menjadi sebuah kendaraan dalam menciptakan common sense di dalam masyarakat yang melanggengkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Meskipun demikian, akhir-akhir ini terdapat berbagai perubahan tampilan media yang menandakan terjadinya pergeseran posisi perempuan di dalam relasi gender di dalamnya. Pergeseran ini terjadi sebagai akibat didekonstruksinya batas-batas oposisi biner, yang sebelumnya memisahkan dunia perempuan dan laki-laki pasif/aktif, lemah/kuat, tak berdaya/kuasa, dan sebagainya. Meski berbagai perubahan merupakan sebuah harapan yang dijanjikan oleh media televisi terhadap perempuan, sesungguhnya mengandung perangkap di dalamnya, yang hanya membawa pada berbagai perubahan yang semu, bukan perubahan yang hakiki.
Untuk para Perempuan Cantik di Negeriku Indonesia…
sumber : http://arbarinis3ip.staff.fkip.uns.ac.id/2011/12/16/eksploitasi-tubuh-perempuan-dalam-tayangan-televisi/
Komentar
Posting Komentar