Hijab vs Akhlak

Beberapa waktu yang lalu, saya menerima tag gambar dari saudara ipar yang sesama perempuan berhijab. Berikut gambar tersebut, yang juga berisi teks di dalamnya.
Image 
Kalimat dalam foto tersebut menerangkan bahwa antara jilbab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda : Berjilbab adalah kewajiban, tetapi akhlak tergantung pada pribadi masing-masing. Apabila seorang wanita berjilbab melakukan dosa dan pelanggaran, itu bukan dikarenakan jilbab yang dipakai, tapi karena akhlaknya.
Hal ini pun kemudian menjadi salah satu topik pembicaraan saya dengan seorang teman pada perjalanan liburan lalu. Ia, dapat saya katakan merupakan pria yang cukup demokratis dengan pemikirannya yang ia utarakan, sebelum saya menerima tag foto tersebut. Mengingat, pertemuan waktu itu adalah pertama kalinya melihat saya dalam balutan busana yang tertutup.
Ia pun mengutarakan pendapatnya tentang fenomena perempuan berjilbab yang kini bisa dikatakan juga jadi tren yang menonjol. Sehingga ada kemungkinan perempuan berjilbab bukan karena panggilan terhadap kewajiban Allah, tapi hanya ikut-ikutan mode.
“Menurut saya, perempuan berjilbab tapi dia merokok, ya silakan saja. Berjilbab itu kan keharusan, tapi kalau akhlaknya begitu, itu hak dia,” katanya.
Saya setuju.
*       *       *
Dulu, sewaktu saya pertama kali berniat untuk berjilbab, memang tak ada alasan khusus atau dorongan keras dari siapapun. Semuanya bergulir seiring waktu, yang bisa dikatakan tepat. Tepat karena saya merasa mendapatkan ‘hidayah’ di waktu Ramadhan baru dimulai tahun lalu. Dan tepat kesempatannya karena saya pun bisa sungguh-sungguh belajar menerima sepenuhnya konsekuensi dari memakai jilbab: baik itu positif atau negatifnya. Yang jelas, ‘dorongan’ yang saya dapatkan waktu itu, melalui cermin yang seolah tak memantaskan saya memperlihatkan rambut panjang saya terurai bebas.
Meski, keinginan tersebut memang sudah ada sejak lama, hanya saja saya memerlukan keyakinan yang mantap untuk memutuskan sesuatu. Ini adalah hal yang wajar saja, karena saya tak mau suatu hari berhenti dan melepas kembali keputusan yang sudah saya ambil, dan justru mendapatkan cemoohan dari berbagai pihak.
.
Image*       *       *
Kembali menyoal akhlak. Saat pertama kali saya memantapkan diri berjilbab, saya juga berpikir orang berjilbab haruslah suci, menjaga segala hal dalam dirinya. Tidak boleh berkata kasar dalam kondisi apa pun, melakukan dosa, melanggar aturan agama, tidak boleh melakukan kesalahan sama sekali. Saya pun merasa harus menjaga segalanya, dari cara bersikap, berbicara, bahkan sampai cara tertawa.
Tapi apa komentar yang kemudian saya dapatkan?
“Kamu tidak perlu memaksakan diri menjadi ‘orang lain’. Biarkan kamu menjadi diri kamu sendiri..” hal tersebut cukup mengagetkan saya.
Ternyata memang benar saya rasakan seperti itu. Setiap saya tertawa, saya seperti menahan diri. Seperti tidak lepas. Seperti bukan saya.
Saya sadar, saya tidak perlu sampai melakukan hal itu. Asalkan perilaku saya tidak menyinggung atau menyakiti orang lain, mengapa harus jadi repot?
Jujur saja, sedari saya belum mengenakan jilbab, saya sudah menghindari berlaku dan berkata kasar, menunjukkan sikap yang terang-terangan menghina orang lain dengan tindakan ataupun kata-kata. Komentar yang saya utarakan sebisa mungkin berdasarkan pada alasan yang logis, bukan hanya karena kepentingan pribadi, yang juga disampaikan dengan cara yang sebisa mungkin halus dan pelan. Apabila orang lain mulai terlihat emosi, saya lebih sering mundur dengan diam.
*       *       *
Tapi kemudian beberapa waktu lalu, saya mendapati komentar seseorang tentang perempuan berjilbab. Ia merasa perempuan tersebut mengomentari segala hal dengan caranya yang sok pintar, merasa paling benar, dan….sempurna?
Tak peduli siapa pun orang yang dimaksud, dari dasar hati yang paling dalam, saya tidak setuju dengan cara beliau mengatakan hal tersebut mengenai ukhti yang dimaksud, dengan sikap yang ia gambarkan hanya dengan beberapa kalimat. Memang kita tidak bisa menghakimi, karena kita (utamanya saya) tidak melihat atau mendengar apa yang ia alami, dengar dan rasakan. Tapi alangkah lebih baik apabila kita juga melihat kembali beberapa aspek :
Pertama, setiap orang tentu berhak memberikan pendapatnya tentang berbagai hal dan peristiwa yang ia lihat di sekitar, kemudian membeberkan pandangannya secara lisan maupun tulisan. Negara ini memberikan kemerdekaan bagi rakyatnya untuk berpendapat, bukan?
Kedua, memang perlu dicermati pula bagaimana sang cara perempuan mengemukakan pendapatnya. Apakah memang diutarakan dengan cara yang tidak pantas. Tapi apabila tidak, mengapa ia harus merasa diberatkan dengan pendapat dari perempuan tersebut? Apakah sebetulnya memang hanya karena ia tidak setuju dengan pendapat ukhti tersebut?
Ketiga, adalah tujuan dari tulisan saya ini, yang juga sudah jelas saya perlihatkan di awal, bahwa tidak ada korelasi yang harus otentik sempurna, bahwa hijab dan akhlak / perilaku orang harus berbanding lurus. Pernahkah Anda melihat seorang ibu yang mengenakan jilbabnya, kemudian dengan santai atau bahkan berapi-api melakukan ghibah yang cenderung memojokkan pihak tertentu? Pernahkan Anda melihat seseorang yang mengenakan jilbabnya, kemudian ketahuan merokok? Pernahkah Anda melihat seorang perempuan yang mengenakan jilbabnya, duduk di bangku pesakitan, divonis hukuman karena terbukti melakukan tindak pidana, entah itu mencuri, membunuh, atau korupsi?
Ya, saya pernah.
Jadi, apakah yang perlu saya jelaskan kembali di sini?
Dalam pikir saya, seorang perempuan berjilbab lebih baik daripada yang tidak, meski keduanya masih melanggar peraturan dan melakukan dosa. Karena sekali lagi, ini masalah akhlak. Akhlak yang mulia, meski pun ia tak mengenakan jilbab, tetaplah akan disegani orang lain.
Saya pikir, kita semua sudah dewasa dan mengerti cara berpikir yang lebih bijaksana. Allah itu Maha Melihat. Sehingga kita tidaklah perlu repot-repot mengurusi urusan yang sebetulnya merupakan urusan seseorang dengan Tuhan-nya. Yang mana, menurut saya, urusan akhlak adalah urusan pribadi, bahkan sangat pribadi, antara seorang umat dengan penciptanya.
Terkadang kita lupa dengan kekurangan diri sendiri, sehingga lebih sering melihat dan mengoreksi kekurangan dan kesalahan orang lain.
*Allah yang Maha Tahu. Kesempurnaan hanya milik-Nya. wallahualam



https://nendenrahmawati.wordpress.com/2013/06/24/hijab-vs-akhlak/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etnografi Kebudayaan Semarang

“HAKIKAT PENDIDIKAN”

contoh PKM Gagasan Tertulis lolos Dikti tahun 2015, diketuai oleh Dian Fatmawati, Akuntansi Unnes