PERAN DISNAKERTRANS DALAM UPAYA PENANGANAN PEKERJA ANAK DI KOTA SEMARANG
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Negara
harus menjamin hak dan kewajiban warga negara dan rakyatnya dalam konstitusi
negara sebagai konsekuensi dari negara hukum yang dianut di Indonesia. Hal ini
dilakukan dengan pencantuman hak dan kewajiban warga negara di dalam
konstitusi, maka membawa konsekuensi bagi negara untuk mengakui, menghormati
dan menghargai hak-hak setiap warga negara dan rakyatnya, termasuk pemenuhan
hak-hak asasi tersebut dalam kehidupan nyata. Kewajiban ini tertuang dalam
ketentuan Pasal 28 UUD 1945 yang menentukan bahwa perlindungan; pemajuan;
penegakkan; dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.
Salah
satu hak asasi yang harus diakui, dipenuhi, dan dijamin perlindungannya oleh
negara adalah hak asasi dibidang ketenagakerjaan, yakni hak untuk bekerja dan
memperoleh pekerjaan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
yang menentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu juga diatur dalam ketentuan
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan pengakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945
dapat disimpulkan bahwa, pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakat akan
haknya terutama dalam bidang pekerjaan dan penghidupan yang layak serta
pengakuan yang adil dalam hubungan kerja.
Upaya
untuk mewujudkan pemenuhan dan perlindungan hukum terhadap hak seseorang untuk
memperoleh pekerjaan dan bekerja dilakukan pada tahun 2003, yaitu dengan
dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa
pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Anak-anak boleh
dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimal 3 jam
sehari. Ketentuan Pasal 68 menentukan bahwa pengusaha dilarang memperkerjakan
anak. Hal ini sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang erat kaitannya dengan
upaya perlindungan hak asasi anak.
Ketentuan
yang melarang mempekerjakan anak juga diatur dalam ketentuan Pasal 68 UU
Ketenagakerjaan yang sejalan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang menentukan bahwa setiap anak berhak
atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Selanjutnya
dalam ayat (2) mengatur mengenai hak anak sebagai hak asasi manusia dan untuk
kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam
kandungan. Selain itu, larangan menelantarkan anak juga diatur dalam UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Orang tua dapat dikenakan sanksi hukuman
kurungan yang cukup berat, termasuk perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah
umur. Oleh karena itu, secara filosofis larangan mempekerjakan anak ini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak demi
pengembangan harkat dan martabatnya dalam rangka persiapan menuju masa
depannya.
Pekerja
anak adalah masalah sosial yang telah menjadi isu global setiap bangsa di
dunia, tak terkecuali di Indonesia. Selain itu juga dapat dilihat dari hasil
penelitian Nandi (2006) bahwa permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia akan
bertambah dengan adanya pengeksploitasian dan keberadaan pekerja anak.
Menurutnya, pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil
atas tenaga mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan. Kebanyakan
dari para pekerja anak tidak sempat lagi menikmati masa bermain atau bersekolah
sebagaimana anak-anak yang lain.
Menurut
BPS, usia yang dapat dikategorikan pekerja anak adalah mereka yang berumur
10-14 tahun. Jika kategori yang dipakai lebih luas sesuai dengan instrumen
internasional tentang anak, yaitu usia 0-18 tahun, jumlah pekerja anak di
Indonesia akan jauh lebih besar. Kecenderungan meningkatnya jumlah pekerja anak
dapat dilihat dari meningkatnya anak jalanan setiap tahunnya. Jika dilihat dari
berbagai kasus, anak-anak yang masuk ke pasar kerja merupakan rasionalisasi
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang tergolong miskin.
Jumlah
pekerja anak paling banyak di negara-negara berkembang yang mencakup seluruh
Asia, Afrika, dan Amerika Latin seperti yang dijelaskan dari hasil penelitian
ILO (1996) dalam Journal of Bussines
Ethics (Hindman, 1999):
“61%
(of child workers) are found in Asia, 32% in Africa, and 7% in Latin America.
Although Asia has the largest number of child workers, Africa has the highest
incidence at around 40%, of children between 5 and 14 years old.”
Berdasarkan hasil Survei Pekerja Anak (SPA) yang
dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan International
Labor Organization (ILO) menemukan bahwa pada tahun 2009 di Indonesia terdapat
lebih dari 58,8 juta anak yang berusia 5-17 tahun dan sekitar 1,7 juta jiwa
menjadi pekerja anak. Dari jumlah keseluruhan pekerja anak tersebut, terdapat
sekitar 48,1 juta yang bersekolah; 24,3 juta terlibat dalam pekerjaan rumah;
dan 6,7 juta tergolong ‘idle’ yaitu tidak bersekolah, tidak membantu di rumah,
dan tidak bekerja. Mereka yang tergolong pekerja anak bekerja 35,1 jam per
minggu. Berdasarkan laporan tersebut, pekerja anak umumnya masih bersekolah,
bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga, serta terlibat dalam bidang
pekerjaan pertanian, jasa, dan manufaktur. .
Kehadiran
pekerja anak di tempat kerja sangat erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan
masyarakat Indonesia saat ini, di mana kondisi ekonomi orang tua yang rendah
menyebabkan anak dikorbankan untuk bekerja guna menambah pendapatan keluarga. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Endrawati (2011) bahwa implementasi upaya perlindungan hukum
terhadap anak yang bekerja tersebut dalam praktiknya mengalami banyak hambatan,
diantaranya faktor ekonomi, faktor budaya, faktor peran serta masyarakat, serta
lemahnya koordinasi dan kerja sama, serta keterbatasan aparatur pemerintah yang
bertugas melakukan pengawasan.
Dilihat
dari data-data tersebut dapat diperkirakan bahwa kondisi pekerja anak di
Indonesia sangatlah buruk. Hal ini disebabkan beberapa faktor pendorong anak
untuk bekerja. Menurut Husnaini (2011) bahwa keikutsertaan anak dalam kegiatan
perekonomian keluarga disebabkan oleh faktor ekonomi, faktor lingkungan, dan
faktor teman sebaya. Berdasarkan hasil penelitiannya, kemiskinanlah yang
menjadi penyebab utama anak bekerja untuk keluarganya. Pemahaman tentang nilai
anak dalam konteks keluarga pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari konteks
budaya masyarakat setempat, sehingga lingkungan sangat berpengaruh terhadap
individunya. Anak-anak yang hidup dalam lingkungan teman-teman yang bekerja,
akan menyukai bekerja daripada sekolah meskipun orang tuanya cukup untuk
membiayai sekolah mereka. Berdasarkan kondisi demikian, mereka mempunyai banyak
kesamaan seperti usia, selera, penalaran terhadap sesuatu sehingga mereka akan
lebih cocok apabila mereka hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ada di
lingkungan teman-teman sebayanya.
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Kertati (2013) menunjukkan bahwa Kota
Semarang merupakan kota dengan jumlah penduduk miskin terendah di Jawa Tengah.
Rendahnya penduduk miskin ini bukan berarti Kota Semarang tidak memiliki
masalah terhadap kemiskinan. Salah satunya adalah masalah ketenagakerjaan. Di
Semarang sendiri jumlah pekerja anak cukup besar yaitu mencapai 57,74 persen
atau sekitar 59.258 jiwa dari total keseluruhan 102.630 jiwa (PPLS, 2012). Oleh
karena itu, jika dilihat dari latar belakang permasalahan di atas, maka perlu
dilakukan penelitian tentang peran disnakertrans dalam upaya penanganan pekerja
anak di Kota Semarang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.2.1
Bagaimana
kebijaksanaan Disnakertrans dalam menanggulangi pekerja anak?
1.2.2
Bagaimana
hasil-hasil yang dicapai Disnakertrans dalam penanggulangan pekerja anak?
1.2.3
Bagaimana solusi
Disnakertrans dalam menanggulangi pekerja anak?
1.3 Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1
Mengetahui upaya
Disnakertrans dalam menanggulangi pekerja anak dibawah umur.
1.3.2
Mengetahui
hasil-hasil yang dicapai Disnakertrans dalam penanggulangan pekerja anak
dibawah umur.
1.3.3 Mengetahui
solusi Disnakertrans dalam menanggulangi pekerja anak dibawah umur.
1.4 Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat teoritis
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1
Dari hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan masyarakat serta pekerja anak dibawah umur pada
khususnya.
1.4.2
Dapat memberikan
kontribusi atau masukan terhadap penanggulangan pekerja anak dibawah umur.
1.4.3
Dapat digunakan
sebagai pedoman dalam penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan peran
Disnakertrans terhadap penanggulangan pekerja anak dibawah umur.
Adapun
manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1
Dari hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas serta
memberikan masukan bagi Disnakertrans, masyarakat, pemilik usaha pada umumnya,
dan orang tua pada khususnya agar terhindar dari hal-hal yang dapat
menjerumuskan anak untuk bekerja layaknya orang dewasa.
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi merupakan instansi pemerintahan yang mengatur
tentang kebijakan ketenagakerjaan dan transmigrasi. Berdasarkan situs resmi
Disnakertrans Kota Semarang, Kesekretariatan ini mempunyai tugas merencanakan,
mengkoordinasikan dan mensikronisasikan, membina, mengawasi dan mengendalikan
serta mengevaluasi pelaksanaan tugas Kesekretariatan, Bidang Pelatihan Tenaga
Kerja, Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bidang Hubungan
Industrial serta Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Adapun tugas pokoknya
adalah melaksanakan kewenangan pemerintah daerah di bidang tenaga kerja dan
transmigrasi.
2.2 Pekerja
Anak
Hak-hak
dasar anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meliputi: a. Hak
untuk hidup layak, b. Hak untuk berkembang, c. Hak untuk mendapat perlindungan,
d. Hak untuk berperan serta, e. Hak untuk memperoleh pendidikan.
Pertama, hak
untuk hidup layak yaitu setiap anak berhak untuk mendapatkan kehidupan yang
layak dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk makanan,
tempat tinggal dan perawatan kesehatan. Kedua,
hak untuk berkembang artinya setiap anak berhak untuk tumbuh kembang secara
wajar tanpa halangan. Mereka berhak untuk mengetahui identitasnya, mendapatkan
pendidikan, bermain, beristirahat, bebas mengemukakan pendapat, memilih agama,
mempertahankan keyakinan, dan semua hak yang memungkinkan mereka berkembang
secara maksimal sesuai potensinya.
Ketiga, hak
untuk mendapat perlindungan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun
seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidak adilan, dan
perlakuan salah. Keempat, setiap anak
juga berhak untuk berperan aktif dalam masyarakat termasuk kebebasan untuk
berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadi anggota
suatu perkumpulan. Kelima, hak untuk
memperoleh pendidikan, yaitu setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal
tingkat dasar. Bagi anak yang terlahir dari keluarga tidak mampu dan tinggal di
daerah terpencil, pemerintah berkewajiban untuk bertanggung jawab untuk
membiayai pendidikan mereka.
Pengertian
anak menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah setiap orang
yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Pada dasarnya anak mempunyai
kebutuhan khusus yang harus dipenuhi semasa masih anak-anak. Kebutuhan tersebut
merupakan hak anak yang harus diberikan dan tidak bisa ditunda yaitu kebutuhan
untuk pendidikan, bermain, dan beristirahat. Tidak terpenuhinya hak-hak anak
secara optimal akan berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya. Namun kenyataan
yang ada dimasyarakat dengan kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan, orang
tua sering melibatkan anak-anaknya turut serta memikul beban keluarga.
Pelibatan anak dalam melakukan pekerjaan ini dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua) kelompok, yaitu anak yang bekerja dan pekerja anak (Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI : 2005).
Pertama, anak
yang bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orang tua,
latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya membantu
mengerjakan tugas-tugas di rumah, membantu pekerjaan orang tua di ladang dan
lain-lain. Anak yang melakukan pekerjaan ringan tersebut dapat dikategorikan
sebagai proses sosialisasi dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator
anak membantu melakukan pekerjaan ringan meliputi: a. Anak membantu orang tua
untuk melakukan pekerjaan ringan, b. Ada unsur pendidikan atau pelatihan, c. Anak
tetap sekolah, d. Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif pendek,
e. Terjaga keselamatan dan kesehatannya.
Kedua, pekerja
anak adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau
intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan,
kesehatan serta tumbuh kembangnya. Indikator pekerja anak meliputi: a. Anak
bekerja setiap hari, b. Anak tereksploitasi, c. Anak bekerja pada waktu yang
panjang, d. Waktu sekolah terganggu atau tidak sekolah.
Menurut
hasil penelitian Nandi (2006), pekerja anak adalah sebuah istilah untuk
mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi
pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau
pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan
prospek masa depan. Kebanyakan dari para pekerja anak tidak sempat lagi
menikmati masa bermain atau bersekolah sebagaimana anak-anak yang lain. Mereka
yang belum cukup umur sudah bekerja keras layaknya orang dewasa, baik disektor
formal maupun informal.
Sedangkan
menurut Kertonegoro (1997) pekerja anak merupakan tenaga kerja yang dilakukan
anak dibawah umur 15 tahun. Hal ini senada dengan pendapat Putranto (dalam
Bagong, 1999) yang menyebutkan bahwa pekerja anak adalah orang laki-laki atau
wanita yang berumur kurang dari 15 tahun selain membantu keluarga, pada
komunitas tertentu misalnya pada sektor pertanian, perikanan, dan industri
kerajinan yang dari sejak kecil mereka sudah dididik untuk bekerja.
Menurut
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang berumur
dibawah 18 tahun, yaitu anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang
memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan
keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya yang dapat digolongkan sebagai
pekerja anak (Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI : 2005). Sedangkan menurut BPS
dalam penyajian data statistik membatasi pekerja anak sebagai penduduk yang
berumur 10-14 tahun. Sementara itu, ILO memberi batasan pekerja anak lebih
luas, yaitu pekerja yang berumur di bawah 18 tahun.
Berdasarkan
dari pengertian-pengertian di atas bahwa batasan umur untuk pekerja anak sangat
bervariatif. Jadi, jika dilihat batasan umur untuk pekerja anak sesuai dengan
UU yang berlaku adalah seorang anak yang berusia dibawah 18 tahun yang
melakukan pekerjaan layaknya orang dewasa.
Pada
prinsipnya anak tidak boleh bekerja, dikecualikan untuk kondisi dan kepentingan
tertentu anak diperbolehkan bekerja, sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Bentuk pekerjaan tersebut antara lain: a. Pekerjaan
Ringan, b. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan,
c. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat.
Adapun
bentuk-bentuk pekerjaan yang dilarang untuk anak mencakup: (a) bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak yang diatur menurut pasal 74 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003
dan (b) bentuk/jenis pekerjaan terburuk menurut Kepmenakertrans No. Kep. 235 /
Men / 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan,
Keselamatan atau Moral Anak (Modul Penanganan Pekerja Anak, Disnakertrans).
2.3 Peranan
Disnakertrans Dalam Menanggulangi Pekerja Anak
Pemerintah
melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) menetapkan fokus
membangun dan menyempurnakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin.
Percepatan penanggulangan kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan dibidang
perlindungan sosial, pemerintah sejak tahun 2007 hingga sekarang melaksanakan
program yang diberi nama Program Keluarga Harapan (PKH).
PKH
bertujuan sebagai upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat
miskin. Pelaksanaan PKH diharapkan dapat membantu penduduk-penduduk miskin,
sehingga kuantitas pekerja anak yang disebabkan oleh kemiskinan dapat
diminimalisir. Selain itu, pelaksanaan PKH secara berkesinambungan hingga tahun
2015 diharapkan dapat mempercepat pencapaian Millenium Development Goals
(MDGs). Terdapat lima komponen MDGs yang secara tidak langsung akan terbantu
oleh PKH, yaitu pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, pendidikan dasar,
kesetaraan gender, pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan pengurangan
kematian ibu melahirkan (Pedoman Pelaksanaan PPA-PKH, 2013).
Berdasarkan
Modul Penanganan Pekerja Anak (2005), terdapat upaya pola penanganan pekerja
anak yang meliputi upaya pencegahan pekerja anak, perlindungan pekerja anak,
dan penghapusan pekerja anak. Pertama, upaya
pencegahan anak merupakan upaya penanggulangan yang bersifat awal sebelum
terjadinya masalah atau terulangnya suatu masalah. Upaya pencegahan bertujuan
mencegah anak agar tidak memasuki dunia kerja dan anak yang berhasil ditarik
dari dunia kerja tidak kembali menjadi pekerja anak sehingga anak memperoleh
hak-haknya sebagai anak terutama mendapatkan pendidikan ataupun pelatihan sebagai
bekal memasuki dunia kerja dimasa depan. Adapun kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya pencegahan pekerja anak meliputi: a. Peningkatan Kesadaran Masyarakat, b.
Peningkatan Akses Pendidikan, c. Pemberdayaan Keluarga dan Masyarakat.
Kedua, perlindungan
pekerja anak meliputi penerapan syarat-syarat dan penegakkan hukum. Pada
prinsipnya pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Namun karena kondisi ekonomi
masyarakat yang kurang menguntungkan belum memungkinkan melarang anak untuk
tidak melakukan pekerjaan. Peraturan perundang-undangan dibidang
ketenagakerjaan masih diperbolehkan anak melakukan pekerjaan pada pekerjaan
ringan, sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental,
dan sosial.
Dasar
hukum pada BPTA (Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak) diatur dalam peraturan
perundang-undangan nasional dibidang ketenagakerjaan yang mengatur dan merinci
tentang apa yang dimaksud dengan BPTA yang tertuang dalam Undang-Undang yang
meliputi: a. UU No. 1 Tahun 2000 tentang
Pengesahan Ratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Larangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; b. UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; c. Keputusan Menteri Tenag Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP-235/MEN/2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang
Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.
Ketiga,
kegiatan penghapusan pekerja anak meliputi penghapusan BPTA, rehabilitasi,
reintegrasi sosial, penegakkan hukum dan pemantauan evaluasi pekerja anak. Kegiatan
pendekatan pengahapusan BPTA ini meliputi pemindahan ke pekerjaan ringan, dan
mengeluarkan dari BPTA. Selanjutnya kegiatan rehabilitasi yang meliputi
perawatan kesehatan & bantuan psikologis, dan bantuan hukum &
perlindungan.
Kegiatan
reintegrasi sosial meliputi persiapan keluarga & masyarakat, mengembalikan
anak ke bangku sekolah (dibawah 15 tahun), memberikan pelatihan kerja (diatas
15 tahun), pemberian program pengganti penghasilan, dan pemberdayaan keluarga
& masyarakat. Sedangkan kegiatan penegakkan hukum meliputi ketentuan
pidana, sanksi pidana, dan pola penegakkannya. Selanjutnya yang terakhir adalah
kegiatan monitoring dan evaluasi penanganan pekerja anak yang meliputi pemastian
anak untuk tidak kembali lagi terlibat pada BPTA, melibatkan partisipasi &
peran aktif pemangku kepentingan & masyarakat, serta berkelanjutan.
Berdasarkan
uraian program di atas bahwa terdapat keterkaitan antara peranan Disnakertrans
terhadap penanggulangan pekerja anak. Hal ini terbukti bahwa Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan diberi tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pengawasan
terhadap ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang
ketenagakerjaan, termasuk ketentuan tentang pekerja anak. Oleh karena itu,
dalam penanganan pekerja anak, Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan diberi
kebebasan untuk menggunakan pendeketan penyelesaian maupun masalah dalam
kerangka penegakkan hukum.
METODE
PENELITIAN
3.3
Desain
Penelitian
Desain
penelitian menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis. Desain tersebut
digunakan dengan maksud untuk mengetahui fenomena sosial tertentu. Namun, tidak
hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi juga meliputi
analisis dan interpretasi tentang data.
Alasan
penggunaan pendekatan ini adalah permasalahan yang jelas, holistik, kompleks,
dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial
tersebut diperoleh dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif. Selain
itu, peneliti juga bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan
pola, dan teori.
3.2 Latar Penelitian
Tempat
penelitian dilakukan di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota
Semarang. Adapun alasan dipilihnya tempat tersebut karena diyakini bahwa tempat
tersebut dapat memberikan informasi untuk menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, yaitu mengenai peran
Disnakertrans terhadap penanganan pekerja anak.
3.3 Subjek dan Objek
Penelitian
Subjek
dalam penelitian ini adalah petugas Disnakertrans bidang Ketenagakerjaan Kota Semarang. Sedangkan objek penelitian ini
berupa program penanggulangan pekerja anak, orientasi hasil yang sudah dicapai,
serta solusi dalam penanganan pekerja anak di Kota Semarang.
3.4 Sumber Data
Penentuan
sumber data terhadap orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive yaitu dipilih dengan
pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono, 2010). Adapun sumber data pada
penelitian ini adalah petugas Disnakertrans bidang Ketenagakerjaan Kota
Semarang.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen
penelitian yang digunakan yaitu anggota tim peneliti sendiri atau human instrument. Kategori instrumen
yang baik dalam penelitian kualitatif adalah instrumen yang memiliki pemahaman
yang baik akan metodelogi penelitian, penguasaan wawasan terhadap bidang yang
diteliti, kesiapan untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun
logistiknya. Hal ini dilakukan agar instrumen yang digunakan mampu menetapkan
fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan
data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat
kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2010).
Selain itu juga dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain
daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama (Nasution dalam
Sugiyono, 2010:306)
3.6 Teknik Pengumpulan
Data
Adapun
teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara mendalam dan studi
dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan terkait
dengan penanganan pekerja anak di Kota Semarang. Adapun jenis wawancara yang
digunakan adalah wawancara terstruktur.
Wawancara
dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang kebijaksanaan
Disnakertrans dalam menanggulangi pekerja anak, mengetahui hasil-hasil yang
sudah dicapai Disnakertrans, dan mengetahui solusi Disnakertrans dalam
menanggulangi pekerja anak.
Teknik
studi dokumentasi digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data pekerja
anak di Kota Semarang selama tiga tahun terakhir; dan mendapatkan data-data
mengenai program penanggulangannya baik yang sudah berjalan, sedang berjalan
ataupun yang akan dijalankan.
3.7 Teknik Analisis
Data
Jenis
data yang dihasilkan dalam penelitian kualitatif adalah data lunak yang berupa
kata-kata, baik diperoleh dari hasil wawancara, observasi, maupun analisis
dokumen. Apabila dalam pengumpulan data tersebut dilakukan oleh peneliti yang
belum berpengalaman, ada kemungkinan data yang terkumpul tidak sesuai dengan
rumusan masalah atau fokus masalahnya. Analisis
data kualitatif menurut Bogdan dalam buku Sugiyono (2010: 334) adalah:
“Proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah
dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.”
Proses analisis data dalam
penelitian ini menggunakan model Miles and Huberman yaitu menggunakan analisis
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Adapun aktivitas dalam analisis data ini, meliputi:
a. Data Reduction (Reduksi
Data)
Reduksi
data adalah kegiatan merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal
yang penting, mencari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu baik itu
dari hasil wawancara, observasi, maupun dokumentasi.
b. Data Display (Penyajian Data)
Penyajian
data dilakukan dalam bentuk uraian singkat atau teks naratif, bagan, hubungan
antar kategori, flowchart, atau
sejenisnya.
c. Conclusion
Drawing/Verification
Tahapan
yang terakhir adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah apabila tidak ditemukan
bukti-bukti yang kuat dan dapat mendukung pada tahap pengumpulan data
berikutnya. Hal ini berbeda ketika kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal
dapat didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten sehingga kesimpulan
yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.8 Teknik Keabsahan
Data
Uji
keabsahan data dilakukan dengan menggunakan uji kredibilitas yang terdiri dari
triangulasi dan member check. Triangulasi
diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan
berbagai waktu (Sugiyono, 2010). Namun, dalam penelitian ini peneliti hanya
menggunakan triangulasi teknik dan waktu.
a. Triangulasi
teknik
Triangulasi teknik
digunakan untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek
data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Teknik yang digunakan
meliputi teknik wawancara, observasi, dan kuesioner/dokumen.
b. Triangulasi
waktu
Waktu juga mempengaruhi
kredibilitas data. Misalnya data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara
dipagi hari saat narasumber masih segar dan belum banyak masalah, maka akan
memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini akan menggunakan waktu yang berbeda untuk menguji
keabsahan data.
Sedangkan member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti
kepada pemberi data (Sugiyono, 2010). Pelaksanaan member check dapat dilakukan setelah satu periode pengumpulan data selesai.
Caranya yaitu peneliti menanyakan kembali pada subjek hasil wawancara antara
peneliti dengan subjek, baik mengenai konten ataupun tata bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Bagong.
1999. Analisis Situasi Pekerja Anak dan
Permasalahan Pendidikan Dasar di Jawa Timur. Surabaya: Universitas
Airlangga Press.
Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2005. Modul
Penanganan Pekerja Anak.
Endrawati,
Netty. “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Sektor Informal (Studi
Kasus Di Kota Kediri)”. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 12 No. 2.
Mei 2012. Kediri: Universitas Islam Kediri.
Hindman,
Hugh D., Smith, Charles G., “Cross-Cultural Ethics and the Child Labor
Problem”. Journal of Bussines Ethics.
Vol. 19 No. 1. Maret 1999. Arts & Humanities Full Text pg. 21.
http://disnakertrans-kotasemarang.or.id/2014/index.php/web/profil/index/1 (diunduh pada
tanggal 27-11-2015, pukul 08.30)
http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.htm
(diunduh pada tanggal 11-12-2015, pukul 08.16)
Husnaini,
Zahratul. 2011. Pekerja Anak Dibawah Umur
(Studi Kasus: Enkulturasi Keluarga Pekerja Anak di Kota Padang). Skripsi
Universitas Andalas.
Kementrian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2013. Pedoman
Pelaksanaan PPA-PKH. Jakarta: Dirjen Pembinaan dan Pengawasan
Ketenagakerjaan.
Kertati,
Indra. 2013. Analisis Kemiskinan Kota
Semarang Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS).
Riptek Vol. 7, No. 1, Hal. 27-38.
Kertonegoro.
1997. Penduduk Angkatan Kerja dan
Kesempatan Kerja Trend Global Menuju Abad 21. Jakarta: CV Intermedia.
Nandi.
“Pekerja Anak dan Permasalahannya”. Jurnal
GEA. Vol. 6 No. 2. Oktober 2006. Bandung: FPIPS UPI.
Sugiyono.
2010. Metode Penelitian Pendidikan
(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
TKPKD Jawa
Tengah. 2012. Data PPLS Jawa Tengah.
UU No. 13 Tahun
2003 tentang Tenaga Kerja.
UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak
Komentar
Posting Komentar